Tuesday 4 December 2012

0
Komen

Anarkisme Akibat Lemahnya Penegakan Hukum

Di berbagai tempat kerap terjadi tindakan anarkis masyarakat.  Masyarakat kian sering main hakim sendiri.  Budaya kekerasan kian mengakar. Di antara pemicunya, lemahnya institusi hukum dalam menegakkan hukum.

Tudingan lemahnya institusi hukum sebagai biang kerok dari berbagai kekerasan yang terjadi diberbagai daerah. Bukan sekadar tudingan atau tuduhan tanpa bukti. Sebab, berbagai kekerasan yang terjadi, baik bertendensi agama, atau dengan bermotif lain, seperti; kecurangan pilkada, kecemburuan sosial, atau kenakalan remaja. Polisi selalu gagal menangkalnya, dan mencegah aksi brutal massa, yang mengakibatkan korban jiwa dan materi.

Hal ini, mengindikasikan institusi polri gagal dalam menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Padahal, polri dibentuk dan dibiayai oleh negara, sebagai sebuah institusi yang berada dibaris terdepan dalam menjaga keamanan masyarakat. Polisilah yang mendapat mandat dan legitimasi dari negara dalam menjaga keamanan, terutama melindungi masyarakat dari berbagai ancaman keamanan.

Tidak hanya gagal dalam mengendalikan aksi anarkis massa. Bahkan, dalam berbagai kasus, justru  polisi sendiri konflik dan bentrok dengan masyarakat. Misalnya saja, disetiap penanganan aksi demonstrasi mahasiswa yang ditangani polisi, nyaris semua berujung bentrok. Sekali lagi, indikasi ini memperliatkan lemahnya prosedur polisi dalam menangani aksi-aksi yang melibatkan massa banyak.

Meskipun, kurang bijak rasanya, apabila semua kesalahan dialamatkan polisi. Sebab polisi bukan satu-satunya institusi hukum, terdapat institusi lainnya, seperti kejaksaan, TNI. Bahkan, kalau ingin jujur, negara/pemerintah yang harus bertanggung jawab, dari berbagai tindakan anarkis masyarakat. Dengan kata lain, negara telah gagal memberi kepastian hukum, serta rasa keamanan masyarakat.

Butuh Ketegasan 

Berbicara tentang hukum, tidak bisa dipisahkan dengan sanksi. Hukum tidak mungkin ditegakkan, tanpa sanksi yang tegas. Disinilah salah satu kelemahan mendasar dari negara, dalam hal ini institusi hukum, seperti; polisi, TNI dan kejaksaan. Pemerintah tidak tegas dalam menerapkan sanksi kepada para pelanggar hukum, para pembuat onar di masyarakat.

Kasus kekerasan terhadap Jama’at Ahmadiyah misalnya. Bukanlah kasus yang berdiri sendiri, dan terjadi begitu saja. Tapi, kasus ini, adalah buah dari kekurang tegasan institusi hukum dalam mengawal produk hukum pemerintah. Polisi tidak tegas dalam menindak dan memberi sanksi kepada Jama’at Ahmadiyah, yang kerap melanggar SKB 3 Menteri, yang ditanda tangani Menteri dalam Negeri, Menteri Agama, dan Kejaksaan Agung.

Salah satu, poin dalam SKB 3 Menteri, adalah melarang Ahmadiyah dalam melakukan aktivitasnya. Pelarangan Ahmadiyah karena dianggap menodai ajaran Islam. Ahmadiyah mengaku agama Islam, tapi ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam, seperti; mengakui Ghurza Gulam Ahmad sebagai Nabi, memiliki Kitab Suci (tadzkirah), memiliki kota suci sendiri. Meski, kesesatan tersebut dibantah Ahmadiyah, Hasil investigasi dan penelitian MUI pusat menemukan bahwa Ahmadiya sesat dan menyesatkan umat.

Namun, Jama’at Ahmadiyah yang tersebar diberbagai daerah di Indonesia, tidak menggubris SKB itu. Bak pameo, Anjing menggonggong kafilah berlalu. Malah, aktivitas dakwah dan penyebaran dakwahnya kian gencar. Ahmadiyah terus melakukan ekspansi dakwah  pelosok daerah.

Tindakan Ahmadiyah membuat umat Islam geram. Umat Islam tidak rela ajaran Islam dinodai. Namun, kejengkelan umat Islam tetap melalui jalur diplomasi, baik melalui peringatan, maupun dengan melaporkan ke aparat polisi. Lagi-lagi jalur tersebut, tidak terlalu berguna bagi Ahmadiyah. Ahmadiyah tidak bergeming, tetap menjalankan aktivitasnya.

 Anehnya lagi, aparat polisipun tidak bisa berbuat dan bertindak tegas. Padahal, aturannya sudah jelas, SKB 3 Menteri sudah dengan tegas melarang Ahmadiyah menjalankan aktivitas di tengah-tengah masyarakat. Sikap tidak tegas polisi dalam menegakkan aturan, dan menindak tegas Ahmadiyah yang melanggar SKB Menteri, membuat masyarakat kehilangan kesabaran. Tindakan anarkispun, tidak bisa dihindari, polisipun  gagal menghentikan amukan massa.

Andai saja, meski ajaran Islam melarang umatnya berandai-andai. Berbagai tindakan anarkis yang terjadi diberbagai daerah, baik bertendensi agama, kepentingan politik, serta konflik bernuansa SARA lainnya. Tidak akan terjadi, kalau polisi menegakkan hukum dengan tegas. Tanpa pandang bulu. Siapapun yang bersalah, ditindak tegas. Justru yang terjadi sekarang, hukum ditegakkan dengan memilih dan memilah.

Apabila yang melanggar masyarakat kecil, cepat dihukum, meski pelanggarannya tidak berat. Sebaliknya, bagi kelompok elitis, orang berduit, hukum dapat dibeli. Seperti itulah parade penegakan di Indonesia. Gayus yang menggelapkan dana negera hingga berpuluh-puluh miliyard dihukum 7 tahun penjara, ditambah dengan berbagai fasilitas yang berbeda dengan narapidana lainnya. Misalnya; perlakukan istimewa, bisa bertamasya keluar negeri.

Penegakan model hukum seperti ini, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum. Akhirnya, masyarakat cenderung main hakim sendiri, dapat pencuri dihakimi massa hingga meninggal. penegakan hukum di Indonesia, sungguh berbanding terbalik dengan penegakan hukum di masa pemerintahan Islam. Meski di Indonesia penduduknya mayoritas Islam.

Misalnya saja, di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ketika Rasulullah dilaporkan tentang pencurian. Rasulullah mengatakan seandainya Fathimah yang mencuri, maka Saya yang langsung memotong tangannya. Begitulah ketegasan Islam dalam hukum, siapapun akan dihukum, termasuk Fatimah anak tercinta Rasulullah.

Namun, ketegasan ajaran Islam dalam menegakkan hukum di tolak atas nama HAM. Para pejuang HAM, juga penjadi pelopor dan berada di garda depan dalam membela Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah jelas ajaran sesat, menyesatkan masyarakat. Ajaran Ahmadiyah diberbagai negara yang mayoritas penduduknya Islam telah dilarang, seperti; di Malaysia, Brunai, Arab Saudi. Bahkan negara asalnya Pakistan. Ahmadiyah dilarang dan diusir, dan menjadikan London sebagai negara pusatnya sekarang.

Sebagai negara yang mayoritasnya Islam, Indonesia harus mencontoh negara lain, yang telah melarang ajaran Ahmadiyah. Menurut direktur Bandung Law Institute Syamsul Ma’arief, tindakan anarkis yang kerap dilakukan masyarakat terhadap Ahmadiyah, akibat kurang tegasnya pemerintah dalam melarang Ahmadiyah di Indonesia. Pemerintah cenderung memilih jalan tengah (aman) terhadap Ahmadiyah, dengan menerbitkan SKB 3 Menteri. Padahal, masyarakat menuntut ketegasan, yakni pembubaran Ahmadiyah.

Selama pemerintah tidak membubarkan Ahmadiyah, benih-benih konflik akan terus tumbuh. Ini akan menjadi bom waktu, akan timbulnya tindakan anarkis. Ujungnya akan menimbulkan korban jiwa, masyarakat sipil, yang tidak terlalu tahu persoalan. Skala konflik akan terus terjadi, cederung meluas, tidak hanya melibatkan kelompok yang bertikai, tapi masyarakat lainnya. Jika aparat kepolisian tidak sigap, dan tidak profesional dalam menangangi aksi massa di lapangan. 

Kurang Profesional

Tuntutan akan profesionalisme polisi dalam menangani kasus, bukanlah isapan jempol. Bahkan, tuntutan adalah sebuah keharusan bagi institusi Polri. Bagaimana tidak, apabila belajar dari berbagai kasus, yang ditangani polisi, tidak lepas dari kelalaian polisi, atau kurang profesionalnya polisi dalam menjalankan prosedur keamanan.

Bentrok yang terjadi, kerap justru dipicu kurang sigapnya polisi dalam menangani massa, serta proses negoisasi polisi dengan masyarakat yang kadang deadlock, tak membuahkan hasil. Misalnya saja, kasus bentrokkan Cikeusik. Menurut Direktur I Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Sabar Santoso, Kamis/17/2, sebagaimana dikutip di Rebublika online, salah satu tersangka Kepala Keamanan Nasional Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Deden Sujana yang memimpin rombongan dari jakarta ke Cikeusik.

Sebelum bentrok, Deden terekam dalam sebuah video sedang melakukan negoisasi dengan polisi setempat. Dalam rekaman tersebut, Deden menolak ajakan polisi di evekuasi. Bahkan, Deden meminta dibiarkan terjadi bentrok. Seandainya polisi profesional dalam bertindak, polisi akan memaksa mengevakuasi massa, dan menangkap Deden sebelum bentrok, sebab dialah dalang bentrok, pertama dia membawa massa, juga pernyataan yang memancing emosi orang lain.

Namun, lagi-lagi polisi tidak bertindak tegas, maka bentrokpun tidak bisa terelakkan lagi, korbanpun berjatuhan, baik materi, hingga menimbulkan korban jiwa. Ke depan polisi harus profesional, dalam bertindak dan bersikap. Apatahlagi, dalam berhadapan massa di lapangan. Di satu sisi polisi tetap harus bertindak hukum sesuai prosedur hukum. Di sisi yang lain, proses negoisasi dengan kepala dingin dan akal sehat, tetap dikedepankan. Meski, proses negoisasi acapkali deadlock, dan berujung bentrok.

Olehnya itu, institusi Polri perlu memberi pelajaran dan membekali anggotanya. Terutama dalam seni bernegoisasi, teknik berkomunikasi dengan baik, serta belajar terapi fsikologi. Kurangnya pemahaman polisi dalam bernegoisasi, berkomunikasi dan mengetahui psikologi, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan polisi menangani kasus. Banyak persoalan yang sebenarnya sepele, tapi polisi tidak pintar bernegoisasi, kurang cakap berkomunikasi, tidak paham dengan psikologi massa, menimbulkan persoalan yang berskala besar. Misalnya; kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, kasus pilkada, serta demonstrasi mahasiswa yang kerap berujung bentrok.

Tentu saja, menyalahkan polisi sendiri, dari berbagai bentrokkan yang kerap terjadi, tidaklah bijak. Sebab, polisi adalah sebuah bagian dari sistem bernegara. Polisi hanya tunduk dari sebuah prosedur, dan perintah dari atasannya, dalam hal ini Presiden, serta komponem lainnya, MPR, DPR, dan institusi negara lainnya. Polisi bukanlah kambing hitam dari semua kejadian ini. Tapi, para pemimpin harus mengoreksi diri, sejauh mana pelaksanaan dan  penerapan hukum yang telah disepakati. 

Belajar dari Negara Lain 

Sebenarnya setiap negara memiliki benih-benih konflik, termasuk konflik agama. Meski konflik dinegara lain, tidak begitu menimbulkan efek yang besar bagi negaranya. Hal ini, tidak lepas dari kecakapan negara lain, dalam mengelola issu, dan meredam konflik tersebut.

Melihat keberhasilan negara lain mengelola issu, serta meredam konflik horisontal dan vertikal di negaranya. Pemerintah Indonesia harus belajar banyak. Menangani konflik agama misalnya, Indonesia perlu belajar pada negara tetangga Malaysia.

Di Malaysia pelecehan dan penodaan agama manapun sangat berat. Undang-undang Malaysia yang diberi nama Undang-undang Akta Hasutan, bertujuan membendung  ketegangan dan konflik agama di Malaysia. 

Bagi pemerintah Malaysia, siapa yang melanggar undang-undang tersebut, apabila ada yang melanggar dan menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akan ditangkap, diproses di Mahkamah dan di penjara. Begitulah ketegasan negara Malaysia, begitu juga di negara lain, seperti; di Pakistan, Saudi Arabia, Brunei, serta negara lainnya.

Hal ini, berbeda di Indonesia. Di Indonesia, setiap orang bisa seenaknya melecehkan agama, baru bisa di tangkap kalau ada yang mempersoalkan. Itupun kalau cepat ditindak. Wajar kalau di Indonesia, aliran sesat tumbuh subur, hampir setiap saat muncul aliran sesat. Ahmadiyah yang sudah berpuluh tahun dinyatakan sesat, tetap saja eksis karena pemerintah tidak bertindak tegas dan membubarkannya 

Ke depan, jika bangsa Indonesia ingin keluar dari berbagai konflik, baik yang bernuansa SARA, konflik politik, kriminal murni. Solusi yang paling efektif, adalah bertindak tegas dalam penerapan hukum, tindak tegas yang melanggar hukum, agar konflik horisontal tidak mengancam eksistensi bangsa dan negara, yang hanya mengakibatkan kesengsaraan rakyat.

 

0
Komen

Islam Tersudut, Umat harus Bersatu

Bermula dari kekerasan terhadap Jama’ah Ahmadiyah, dan umat Kristen, umat Islam disudutkan. Umat Islam dituduh kerap melakukan kekerasan terhadap kelompok Minoritas. Ujung-ujungnya, pemerintah diminta membubarkan ormas Islam. Padahal, Ormas Islam adalah pilar, dan basis pembinaan umat. Umat tidak boleh diam, umat harus bersatu, ormas Islam harus tetap eksis.

Pemicunya adalah peristiwa kekerasan di Cikeusik dan Temanggung. Para pejuang anti Islam yang selama ini getol membela aliran sesat, kini menabuh  perang. Bukan hanya pelaku kekerasan dikutuk, atau sekadar mengadili pelaku kekerasan. Malah, kampanye pembubaran ormas Islam digalakkan..

Salah satu kampanye yang paling efektif , menggiring opini masyarakat lewat media massa yang mereka kuasai, atau paling tidak sevisi dengan mereka. Salah satu contohnya, opini di harian kompas 14/2, “Kebinekaan pun “terancam”.

Sekilas opini tersebut tidak ada masalah. Namun opini tersebut dipoles sedemikian rupa, ujungnya, yakni menuduh bahwa pelaku dari tindakan anarkis terhadap Ahmadiyah dan Kristen, adalah Ormas Islam. Sehingga, Ormas Islam yang kerap bertindak anarkis harus dibubarkan.

Meski, tuduhan tersebut tidak didukung oleh fakta. Hasil investigasi polisi di lapangan, sebagaimana yang dilansir Kapolri Jenderal Timur Pradopo usai dengan pendapat denganDPR RI, mengatakan bahwa hasil investigasi polisi, tidak ada ormas yang terlibat dari penyerangan di kedua tempat.

Meski fakta keterlibatan ormas Islam, tidak terbukti, tetap saja ormas Islam disandera, disudutkan. Bahkan, saat ini opini, dan wacana yang dikembangkan, yang ramai diperdebatkan diberbagai diskusi, di warkop, di media massa, adalah pembubaran Ormas Islam, pencabutan SKB 3 Menteri. Bukan lagi, mengusut pelaku kekerasan, atau mengurai akar permasalahan dari berbagai tindakan kekerasan terhadap Jama’ah Ahmadiyah, dan umat kristen.  

Akar Masalahnya

Andaikata para pembela aliran sesat, pejuang kebebasan beragama, mau jujur, dengan melihat fakta dan akar masalahnya, yang menyebabkan sekolompok umat Islam kerap bertindak anarkis. Mereka tidak membabi buta menyalahkan umat Islam, yang berujung tuntutan pembubaran ormas Islam.

Apabila kita menengok kebelakang, hampir semua tindakan anarkis yang dilakukan sekolompok umat, dipicu oleh ulah kelompok yang diserang. Kekerasan terhadap Ahmadiyah beberapa kali diberbagai tempat, akibat ulah Ahmadiyah yang tidak mengindahkan SKB tiga menteri, yang melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas.

Ahmadiyah selalu ditegur keras oleh masyarakat, namun mereka tetap saja bersikeras melakukan aktivitas dakwahnya. Padahal, mereka telah divonis sesat, dan menyesatkan umat. Salah satu, kesesatannya yakni mengakui Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Nabi, serta mempunyai kitab suci Tadzkirah. Ahmadiyah juga mengakui dua kota di India sebagai kota sucinya, bukan Makkah.

Prinsip-prinsip tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga, Ahmadiyah dianggap sesat, dan disuruh keluar dari Agama Islam, serta mendirikan agama baru. Tapi mereka tetap bersikeras mengaku Islam, mendakwahkan ajarannya kepada umat Islam. Inilah yang membuat umat Islam marah, hingga berbuat anarkis. Seandainya, Ahmadiyah menyatakan bukan dari Islam, maka tidak ada tindakan anarkis terhadap mereka. Sebab, umat Islam berprinsip, bagiku agamaku, bagimu agamamu, selama tidak mengganggu keyakinan umat, kita damai hidup berdampingan.

Prinsip Islam tersebut, bukan isapan jempol belaka. Dimana mayoritas Islam, pasti hidup rukun dengan agama lain. Dalam Islam mempergauli tetangga sangat dianjurkan, bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, bersabda, ”tidak beriman seseorang, apabila akibat perbuatannya, tetangganya tidak merasa tenang”(.....?. Sebaliknya, apabila umat Islam minoritas mereka selalu terdzhalimi oleh umat agama dan kelompok lain. Umat Islam kerap didzhalimi, dilarang menjalankan ajaran agamanya, serta mengalami kekerasan fisik, misalnya; di Thailand, di Filipina, serta beberapa negara di Eropa.

Anehnya, para penggiat HAM, pejuang kebebasan beragama, yang mayoritas beragama Islam, tidak kedengaran suaranya membela umat Islam yang terdzhalimi. Berbanding terbalik, jika umat lain dihakimi kelompok Islam. Meski, pemicunya kelompok itu sendiri. Seperti kekerasan di Temanggung, dipicu oleh ulah Antonius yang mengaku pendeta menyebarkan buku yang melecehkan Islam. Kemudian, dihukum tidak sesuai dengan tingkat perbuatannya. Terjadilah kemarahan umat, berujung anarkis.

Kekerasan terhadap umat Kristen di Temanggung, bukan yang pertama terjadi. Beberapa bulan lalu, juga terjadi di Bekasi. Tapi, lagi-lagi tindakan anarkis itu, dipicu oleh umat Kristen, bukan umat Islam, yang selalu jadi tersandera dan tertuduh. Kejadian tersebut dipicu oleh umat Kristen yang tidak taat pada aturan, yang melarang umat lain,  mendirikan rumah ibadah di tengah-tengah mayoritas umat Lain. Umat Kristen tetap saja tidak menggubris peringatan pemerintah dan masyarakat. Bahkan polisi sudah menyegel tempat ibadahnya, tetap saja mempergunakannya, masyarakatpun tidak tahan melihat ulah mereka, maka bentrokan pun tidak bisa dihindari.

Memutarbalikkan Fakta

Argumen dan fakta yang dibangun penulis, tidak berarti membenarkan berbagai tindakan anarkis. Sekali lagi tidak. Namun, penulis menginginkan mendudukkan berbagai persoalan secara proporsional. Siapa saja bersalah tetap harus mendapat hukuman yang setimpal. Ahmadiyah yang tidak taat terhadap SKB, yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, tetap harus mendapat sanksi dan hukuman

Begitu juga, dengan pelaku anarkis, tetap harus diselidiki, dan dihukum sebagaimana kesalahan yang mereka perbuat. Namun, wilayah hukum, adalah tugas dan tanggung jawab polisi untuk menyelidiki, dan membawanya kepengadilan, serta mendapat hukuman sesuai tingkat kesalahannya. Bukan tugas sekelompok pejuang HAM, kebebasan yang menjatuhkan vonis, seakan-seakan mereka paling benar, paling nasionalis. Padahal, kelompok-kelompok merekalah yang banyak ditunggangi kepentingan asing, “menjual negara” kepada pihak asing demi nafsu mereka.

Kelompok-kelompok inilah yang membangun menggiring opini publik, dengan stigma, bahwa ormas Islam kerap bertindak anarkis, dan harus dibubarkan. Penggiringan opini publik, serta pemutar balikkan fakta, adalah sebuah skenario besar yang disusun kelompok Islam fhobia, yang dibiayai oleh LSM asing, sebagai sebuah proyek penghancuran Islam. Jika hal itu terjadi, dan indikasinya kebenarannya didukung fakta-fakta dilapangan, misalnya, Kapolri mengatakan bahwa tidak ada Ormas Islam terlibat, tapi wacana yang dikembangkan oleh sebagian kelompok lewat media, selalu menuduh Ormas Islam terlibat.

Pola penggiringan opini bagi umat Islam, bukanlah hal baru. Meski, esensinya sedikit mengalami perubahan, tapi polanya tetap sama. Media tetap menjadi alat paling efektif dalam menjalankan propagandanya. Umat digiring menerima dan menyetujui pendapat. Demi menguatkan propagandanya, dikutiplah pendapat beberapa tokoh Islam.  Sekali lagi ini pola lama, namun tujuannya tetap memojokkan Islam. Jika Islam terstigma secara negatif, Islam akan dijauhi, bahkan oleh pemeluknya sekalipun.

Umat Bersatu

Berbagai propoganda yang menyudutkan Islam, dan Ormas Islam sebagai basis pembinaan umat, dari kelompok Islam fhobia, yang selalu memanfaatkan momentum kelengahan umat, tidak boleh diabaikan dan didiamkan. Apabila, diabaikan bisa berakibat fatal. Hari ini boleh gagal, tapi besok bisa berhasil, jika umat tidak tegas, dan bersatu membendung propoganda mereka. Mereka didukung oleh dana yang “wah”,   inilah kekuatan mereka, disamping kekuatan  asing, dan dukungan sebagian besar media massa.

Menghadapi serangan musuh Islam, yang dipelopri berbagai kelompok, tidak jalan lain, umat harus bersatu. Umat Islam harus merapatkan barisannya, ukhuwah perlu dirajut. Singkirkan segala perbedaan yang bersifat khilafiyah. Benih-benih perbedaan jangan diperlebar, sebaliknya dipersempit. Saling curiga, klaim diri paling benar, bukan saatnya lagi.

Saatnya sekarang, memikirkan langkah terbaik, mengatur strategi jitu menghadapi musuh-musuh Islam. Strategi terbaik, adalah dengan menguatkan ukhuwah Islamiyah, memperbanyak silaturahim, dan menggencarkan pembinaan umat dengan dakwah. Meski,  merajut ukhuwah, di tengah perbedaan, diberbagai komponem umat bukanlah hal mudah. Butuh sebuah perjuangan besar, tidak berarti tidak bisa dicapai. Selama ada kemauan, selama ada usaha menuju kesana.

Begitu banyak dalam Al Qur’an dan hadits yang bercerita, tentang penting, serta keutamaan dari sebuah ukhuwah Islamiyah. Allah Subhana Wa ta’ala berfirman dalam al-Quran Surat Surat al-Hujurat ayat 10:”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.

Ayat di atas sekali lagi menegaskan akan penting dan keutamaan sebuah ukhuwah Islamiyah. Hal ini, perlu di sadari betul oleh umat. Lagi pula, di tengah berbagai tudingan kelompok Islam fhobia, umat Islam harus memperlihatkan ukhuwah Islamiyah untuk menghadapi mereka. Umat akan kuat, dan siap menghadapi musuh dengan kekuatan apapun, serta dari berbagai sudut serangan, kalau umat Islam bersatu, umat Islam tidak saling menyal. hkan sendiri. Apatah lagi, saling cakar, saling menuduh,sifat seperti akan memperlemah kekuatan Islam.

Sejarah pun mencatat, bahwa ukhuwah Islamiyah merupakan pilar utama perkembangan Islam sejak dahulu hingga sekarang. Sejak pertama Rasulullah hijrah ke Madinah sebagai cikal bakal lahirnya peradaban Islam, yang sampai sekarang tidak ada menandingi. Langkah pertama Rasulullah, adalah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Ukhuwah Islamiyah inilah, yang melahirkan energi besar dan kekuatan dahsyat. Sehingga, daulah Islamiyah dapat di Jazirah dapat mencapai kejayaannya. Rasulullah Shallallahu alaihi bersabda, yang diriwayatkan Bukhari“Sesungguhnya orang-orang mukmin dengan orang-orang mukmin lainnya itu ibarat bangunan yang satu bagiannya menguatkan bagian yang lainnya”.

Olehnya itu, jika kejayaan umat terdahulu ukhuwah Islamiyah menjadi salah satu pilar utamanya. Kitapun harus yakin, bahwa kejayaan Islam hari ini, dan seterusnya, ukhuwah Islamiyah juga akan menjadi salah satu pilar utamanya. Maka, menjadi tugas dan kewajiban kita untuk menjaga ukhuwah islamiyah itu agar tetap terjaga dengan baik dan kokoh demi kejayaan Islam. Semoga Allah Subhanahu Wa Taala memberkati dan meridhai tiap langkah dan gerak-gerik kita di dunia ini. Sehingga, kebahagian dunia dan akhirat dapat tercapai, dengan kejayaan Islam, dan kaum muslimin. 

(Burhanuddin, Makassar, 15 Februari 2011)

0
Komen

Beginilah Islam Berinteraksi Sosial



Islam bukan sekadar Agama teologi yang dogmatis. Tapi ajaran Islam mengandung nilai-nilai aplikatif, sempurna, yang mengatur konsep hidup, mulai dari yang terbesar hingga terkecil.

Konsep Islam dalam kehidupan telah termaktub dalam Al Qur’an dan Hadits, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, yang dilanjutkan oleh para sahabat Assalafu shaleh. Konsep-konsep hidup tersebut, terutama berkenaan dengan akhlak dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari.

Konsep akhlak tersebut,  bak mutiara yang tetap terjaga dan dilaksanakan umat Islam hingga hari ini, dan sampai roda dunia masih berputar. Selama kaum muslimin masih tetap berpegang teguh dengan dua kitabnya, Al Qur’an dan Hadits. Selama itu pula konsep akhlakul kharimah Islam akan tetap menjadi pedoman dasar kaum muslimin dalam menjaga hubungan manusia, tanpa membeda-bedakan Suku, Agama dan Ras.

Hubungan dengan Manusia

Islam sebagai agama yang paripurna dan sempurna. Tidak hanya, menjaga hubungan secara vertikal (hubungan dengan Allah), yang mengabaikan hubungan horisontal (hubungan dengan manusia). Sama sekali tidak. Sebaliknya, Islam tetap menekankan kewajiban beribadah kepada Allah. Namun, kewajiban berbuat baik kepada manusia, tetap harus di jaga.

Begitu banyak dalil dan nash-nash dalam Al Qur’an dan hadits, yang menjelaskan tentang hubungan baik dan berakhlakul karimah kepada manusia. Bahkan Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam di utus kebumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia. “Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).

Logika sederhananya, jika Allah Azza Wajalla mengutus Rasulullah sebagai penyempurna akhlak bagi manusia. Tentu saja, Rasulullah lebih sempurna akhlaknya. Pengakuan akan kesempurnaan Akhlak Rasulullah termaktub dalam Firmannya; “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung” (QS; Al Qalam : 4).

Keagungan akhlak Rasulullah, bukan hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin. Tapi bagi seluruh umat manusia. Hal telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam kehidupannya. Tersebutlah sebuah kisah di masa kehidupan Rasulullah, ada tetangganya, seorang Yahudi. Acapkali tetangga Yahudi Rasulullah melemparkan tahi pada Rasulullah. Bahkan suatu ketika tahi tersebut mengenai dada Rasulullah, membuat putri nya Fatimah naik pitam, dan mengutuk Yahudi tersebut. Namun, Rasulullah tetap bersabar.

Sampai suatu ketika, Orang Yahudi ini,  tidak melempari Rasulullah tahi. Rasulullah malah heran, dan bertanya-tanya, kenapa tidak datang melemparinya. Usut punya usut. Ternyata orang Yahudi tidak datang melempari tahi Rasulullah karena sakit. Mendengar khabar tersebut, Rasulullah langsung menjenguk Yahudi tersebut. Yahudi tersebut kagum akan akhlak Rasulullah. Betapa tidak, orang yang selalu di lempari tahi, malah datang menjenguknya ketika sakit. Akhirnya, yahudi tersebut menyatakan masuk Islam dan bersyahadat di depan Rasulullah.

Sepenggal kisah di atas, bukanlah kisah satu-satunya kisah yang menceritakan akhlakul kharimah Rasulullah, serta sahabat-sahabat lainnya. Cerita di atas di angkat membuktikan bahwa sesungguhnya Islam telah mengajarkan akhlak yang mulia. Akhlak yang terpuji kepada seluruh makhluk ciptaan Allah.

Dalam berinteraksi dan bergaul dengan binatang, Rasulullah telah mengajarkan akhlak yang terpuji. Misalnya saja; dalam menyembeli binatang, Rasulullah mengajarkan supaya menggunakan pisau yang tajam. Tujuannya agar binatang yang disembeli tidak tersiksa.

Beginilah Islam mengajarkan kepada umatnya dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pola Interaksi yang termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits, yang dicontohkan oleh Rasulullah. Bukan hanya pola interaksi dengan manusia semata. Tapi, juga dengan makhluk lainnya, dengan binatang, tumbuhan, hingga makhluk tidak hidup sekalipun.

Terlebih lagi pola interaksi antara manusia dengan manusia lainnya. Muslim atau non muslim diatur sedemikian rupa dalam Islam. Mulai dari persoalan sepele hingga persoalan besar. Sebut saja, persoalan buang air kecil, dilarang buang kecil di tempat terbuka dan berdiri, masuk WC dengan kaki kiri, keluar dengan kaki kanan, yang disertai dengan baca doa.

Apabila Islam begitu terperinci mengatur kehidupan, yang biasa disepelekan seperti buang air kecil tadi. Lalu bagaimana dengan kehidupan yang lebih besar? Bagaimana pola interaksi yang rawan dengan gesekan-gesekan dan konflik? Apakah Islam mengatur juga?

Jawabannya sangat jelas, Islam mengatur dengan gamblang dan terperinci. Pola kehidupan bertetangga adalah salah satu pola kehidupan yang rawan dengan gesekan. Dalam persoalan ini, banyak dalil dalam Al Qur’an yang menjelaskan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda yang maknanya, “Tidak beriman seseorang, apabila tetangganya tidak tenang/terganggu, yang disebabkan mulutnya”.(tolong cari perawinya, serta arti sebenarnya)

Sekali lagi beginilah Islam sangat memperhatikan pola interaksi umatnya. Sampai-sampai kerukunan hidup dengan tetangga dikaikan dengan keimanan. Bahkan, Allah Azza wajalla, lewat RasulNya mengancam, bahwa tidak beriman seseorang apabila kerap mengganggu tetangganya.

Olehnya itu dalam Islam diajarkan akhlak bertetangga. Tanpa pandang bulu, baik yang muslim ataupun non  muslim. Seorang muslim dilarang mengganggu tetangga, dilarang mengambil barang tetangga tanpa izin, masuk kerumahnya harus minta izin dan mengucapkan salam.

Masih banyak yang lain, pola-pola interaksi dalam kehidupan bertetangga. Terlebih lagi, dalam interaksi kehidupan di lingkungan yang lebih luas. Sebagaimana sabda Rasulullah; “Salah satu cabang dari keimanan adalah menyingkirkan duri di jalanan”. (tolong juga cari arti lengkapnya, serta perawinya). 

Dalam lingkup interaksi yang lebih luas, dalam kehidupan bernegara Islam juga telah mengatur dan mengajarkan pada umatnya. Islam mengatur bagaimana berakhlak dengan baik dengan pemimpin, bagaimana pemimpin berakhlak kepada orang yang dipimpinnya. Semuanya ada dijelaskan dalam banyak ayat dalam Al Qur’an dan Hadits, yang disertai dengan contoh dari Rasulullah, sahabat, serta para ulama hingga sekarang.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa; 59)

Ayat di atas betapa gamblang menggambarkan etika dan akhlak kepada pemimpin. Seorang yang dipimpin (masyarakat) tetap punya peluang berbeda pendapat dengan pemimpinnya. Perbedaan pendapat tersebut, tidak membuat mereka bermusuhan. Apalagi, saling menjatuhkan, saling mendzhalimi satu sama lain. Sama sekali dalam Islam tidak dibolehkan. 

Sebaliknya, perbedaan tersebut dimusyawarakan agar didapatkan titik temu, yang tidak merugikan, saling menguntungkan kedua belah pihak. Landasan yang dipakai dalam mengukur kebenaran dan mencari titik temu tersebut, tetap mengacu pada Al Qur’an dan Hadits.

Begitu juga sebaliknya. Pemimpin juga harus mempergauli orang yang dipimpinnya. Menyayanginya,. Menghormatinya, serta mendoakan keselamatannya. Hal ini ditegaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya; ”pemimpin-pemimpinmu yang paling baik adalah orang yang engkau sayangi atau kasihi dan ia menyayangimu (mengasihimu) dan yang engkau do’akan dengan keselamatan dan merekapun mendo’akanmu dengan keselamatan. Dan pemimpin-pemimpinmu yang paling jahat (buruk) ialah orang yang engkau benci dan ia membencimu dan yang engkau laknati serta mereka melaknatimu. Lalu kami (para sahabat) bertaya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah! Apakah tidak kami pecat saja mereka? Rasulullah menjawab: jangan ! selagi mereka masih mendirikan salat bersama kamu sekalian” 

Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW bersabda:”Siapa saja yang membenci atau tidak menyukai sesuatu dari tindakan (pemimpin) maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya orang yang meninggalkan (belot) dari kepemimpinan (jama’ah) walaupun hanya sejengkal maka matinya tergolong dalam mati orang jahiliyah”.“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa; 59)Ayat di atas betapa gamblang menggambarkan etika dan akhlak kepada pemimpin. Seorang yang dipimpin (masyarakat) tetap punya peluang berbeda pendapat dengan pemimpinnya. Perbedaan pendapat tersebut, tidak membuat mereka bermusuhan. Apalagi, saling menjatuhkan, saling mendzhalimi satu sama lain. Sama sekali dalam Islam tidak dibolehkan.Sebaliknya, perbedaan tersebut dimusyawarakan agar didapatkan titik temu, yang tidak merugikan, saling menguntungkan kedua belah pihak. Landasan yang dipakai dalam mengukur kebenaran dan mencari titik temu tersebut, tetap mengacu pada Al Qur’an dan Hadits.

Begitu juga sebaliknya. Pemimpin juga harus mempergauli orang yang dipimpinnya. Menyayanginya,. Menghormatinya, serta mendoakan keselamatannya. Hal ini ditegaskan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya; "pemimpin-pemimpinmu yang paling baik adalah orang yang engkau sayangi atau kasihi dan ia menyayangimu (mengasihimu) dan yang engkau do’akan dengan keselamatan dan merekapun mendo’akanmu dengan keselamatan. Dan pemimpin-pemimpinmu yang paling jahat (buruk) ialah orang yang engkau benci dan ia membencimu dan yang engkau laknati serta mereka melaknatimu. Lalu kami (para sahabat) bertaya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah! Apakah tidak kami pecat saja mereka? Rasulullah menjawab: jangan ! selagi mereka masih mendirikan salat bersama kamu sekalian"  

Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW bersabda:”Siapa saja yang membenci atau tidak menyukai sesuatu dari tindakan (pemimpin) maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya orang yang meninggalkan (belot) dari kepemimpinan (jama’ah) walaupun hanya sejengkal maka matinya tergolong dalam mati orang jahiliyah”. 

Dua hadis di atas menjelaskan pola hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyatnya. Pemimpin harus orang yang baik dan menyayangi rakyat serta rakyat menyayanginya. Apabila ada sesuatu yang tidak disukai oleh rakyat pada pemimpinnya. Rakyat tidak diizinkan memecatnya, selama pemimpin masih melaksanakan shalat bersama rakyatnya.

Begitulah akhlak Islam dalam mengatur pola dan interaksi umatnya, baik sesama manusia, atau dengan makhluk lainnya. Islam menekankan prinsip saling menghormati, saling menyayangi, tidak saling mencaci, dan mendzhalimi. Sehingga, tudingan bahwa Islam ajaran keras, umatnya kerap berbuat anarkis, teroris dan melanggar HAM. Adalah tudingan tidak benar, tendensius, yang bertujuan mendeskreditkan Islam.

Andai saja ada yang berbuat seperti itu. Pasti mereka tidak memahami Islam secara benar. Menyalahi ajaran Islam. Islampun tidak bisa disalahkan atas perbuatan mereka. Seperti halnya yang lain. Jika, oknumnya berbuat, tidak bisa serta merta disalahkan agama atau institusinya.

Tegas dalam Aqidah

Sekali lagi. Islam bukanlah agama anarkis. Islam adalah yang mengajarkan akhlak yang mulia, kasih sayang dan kelemahlembutan. Islam mengajarkan bergaul dengan manusia, dengan non muslim sekalipun. Dalam persoalan muamalah, Islam terbuka dengan siapaun, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Meskipun begitu tidak berarti Islam, agama yang tidak bisa tegas. Dalam persoalan Aqidah, Islam sangat tegas,  tanpa kompromi, dan tidak tawar menawar. Islam menganut prinsip. “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Islam tidak akan mencampuradukkan dengan aqidah agama lain.

Islam berlemah-lembut dalam interaksi sosial, tegas dalam persoalan Aqidah. Inilah prinsip ajaran Islam dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat. Prinsip ini harus dipegang teguh oleh setiap kaum muslimin, agar bisa selamat kehidupan dunia dan akhirat.

 (Antang, Rabu/2 Maret 2011/Burhanuddin)

Copyright© Hasil Nukilan : Burhanuddin